Migrasi tenaga kerja antarnegara merupakan pilihan utama untuk bertahan hidup, terutama bagi masyarakat di daerah perdesaan. Migrasi kerja antarnegara menjadi penyangga ketika terjadi krisis ekonomi, namun fakta menunjukan para pekerja-pekerja Indonesia diluar negri banyak mendapatkan perlakuan eksplotasi dari gaji tidak dibayar, kecelakaan kerja, meninggal dunia, pelangaran hukum. Melihat kondisi ini maka, Perlindungan dan penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri perlu mendapatkan perlindungan dan penanganan yang serius, demikian dikatakan Staf Divisi Anak dan Perempuan Yayasan Pusaka Indonesia Rina Melati Sitompul, SH dalam acara Focus Group Diskusi (FGD) dengan DPD RI Prof. Damayanti.
Menurut Rina, banyak perempuan yang memilih bekerja di luar negeri berasal dari daerah-daerah termiskin di Indonesia. Kemiskinan, pengangguran, dan keterbatasan pendidikan formal merupakan faktor penyebab semakin meningkatnya jumlah perempuan Indonesia yang bermigrasi ke luar negeri, ditambah lagi dengan adanya peluang untuk mendapatkan upah yang relatif tinggi dibandingkan di desa-desa mereka.
Ditambahkannya, orang-orang Indonesia itu dieksploitasi dengan direkrut dan ditempatkan oleh para agen dengan menyita dokumen dan memberlakukan potongan yang besar atas gaji yang mereka dapatkan dari majikan. Padahal sebelumnya para tenaga kerja asal Indonesia itu diimingi janji palsu berupa gaji tinggi dan kondisi kerja yang baik.
“Proses ini dianggap sama dengan praktek perdagangan manusia dan kerja paksa, karena para perempuan itu tidak bisa melarikan diri akibat terlilit hutang dan dokumen mereka disita” ungkap Rina
Pemerintah harus mengkaji kembali mengenai perlunya revisi Undang-undang No. 39 Tahun 2004 tentang Perlindungan dan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, khususnya mengenai batasan dan syarat-syarat calon tenaga kerja Indonesia di luar negeri, kedua, perlu tidaknya ratifikasi Konvensi ILO mengenai deceant work for migrant workers dan perlunya dibentuk undang-undang bagi pembantu rumah tangga di Indonesia, tegas Rina
Ianya juga meminta Departemen Luar Negeri dan Menteri-mentri terkait dalam hal ini perwakilan-perwakilan di luar negeri baik melalui atase tenaga kerja maupun perwakilan luar negeri yang lain sangat diperlukan dalam perlindungan bagi tenaga kerja Indonesia khususnya mereka yang bekerja secara illegal di luar negeri dan permasalahan conflict of interest antar instansi ketenagakerjaan harusnya dapat diselesaikan dengan pembentukan peraturan perundang-undangan sehingga tercapai tujuan perlindungan bagi tenaga kerja Indonesia di luar negeri.
Sementara itu Prof Damayanti menyambut baik pertemuan ini, masukan dan hasil pertemuan ini akan menjadi catatan penting yang akan dibawa ke Jakarta, apalagi menurutnya posisi geografis Sumatera Utara dekat dengan negara jiran tetangga Malaysia, singapura, Thailand dan Philipina dan merupakan tempat transit bagi pekerja migran dan Sumatera Utara menjadi pintu gerbang barat dalam perdagangan Kuala Namu Internasional, Belawan dan Tanjung Balai.
Hadir dalam pertemuan tersebut Biro Pemberdayaan Perempuan SetdaProvsu, Kanit PPA Poltabes Medan, FH-USU, BP3TKI dan aktivis Buruh Migran di Sumatera Utara.